Otonomi Daerah



Kata Pengantar

            Puji Syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena kesempatan yang telah ia berikan makalah ini dapat di selesaikan dengan baik. Tak lupa shalawat serta salam kami panjatkan kehadirat Allah SWT berserta junjungan nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat berserta pengikutnya. Terima kasih yang sebesar-besarnya kami berikan kepada Aamir Fadhilah, S.Sos M.Si. selaku dosen Civic Education yang membina kami para mahasiswa/I dalam pengerjaan Makalah ini.
            Makalah yang kami buat ini mengusung Otonomi daerah di Indonesia berserta system pengaturan dan permasalahanya. Diharapkan dengan mengusung tema ini kita mahasiswa/I menjadi lbih kritis terhadap apa yang trjadi dengan otonomi daerah negara kita.
            Sebagai mahasiswa/I yang masih dalam proses pembelajaran kami menyadari adanya kekurangan atau kelebihan. Maka dari itu kami mengharapkan kritik maupun saran yang bersifat membangun guna membuat makalah menjadi lebih baik lagi dimasa mendatang.
            Makalah tentang Otonomi daerah yang telah kami susun ini kami harapkan dapat memberikan manfaat bagi pembelajaran Civic Education materi Otonomi Daerah dikedepanya bagi generasi lampau maupun mendatang.


                                                                                                                        Jakarta, Oktober 2012

                                                                                                                                    Penyusun


Daftar Isi

Kata pengantar                                                                                                                             2
Daftar isi                                                                                                                                       3
BAB I Pendahuluan                                                                                                                       4
BAB II Pembahasan
1.      Pengertian Otonomi Daerah                                                                                      6
2.      Visi Otonomi Daerah                                                                                                  8
3.      Sejarah Otonomi Daerah Indonesia
4.      Prinsip-prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah                                                           9
5.      Pembagian Kekuasaan dalam Kerangka Otonomi Daerah                                        10
6.      Pemilihan, Penetapan, dan Kewenangan Kepala Daerah.                                         12
7.      Kesalahpahaman Terhadap Otonomi Daerah                                                            14
8.      Otonomi Daerah dan Pembangunan Daerah                                                             16
9.      Otonomi Daerah dan Pilkada Langsung                                                                     18
BAB III Kesimpulan                                                                                                                        20
BAB IV Daftar Pustaka                                                                                                                  21


BAB I
PENDAHULUAN


1.1       Latar Belakang
Dengan pesatnya perkembangan zaman dan globalisasi, otonomi daerah sering banyak dilupakan oleh masyarakat awam. Kerena sebenarnya otonomi daerah merupakan peranan penting dalam pembagian kewenangan kepada penyelenggaraan organ-organ negara dan hak yang mengikuti pembagian wewenangan tersebut. Sehingga otonomi daerah merupakan peranan penting dalam pembangunan masing-masing daerah di Indonesia. Tanpa adanya otonomi, daerah tidak akan berkembang dan hanya terpaku dalam peraturan pemerintahan pusat saja.
1.2       Rumusan Masalah
a.      Apa pengertian dari Otonomi Daerah?
b.      Bagaimanakah Sistem Pemerintahan Otonomi Daerah?
c.       Apasajakan permasalahan yang dihadapi dalam menjalankan Otonomi Daerah?

1.3       Tujuan
Tujuan pembuatan ini adalah untuk memberikan pemahaman kepada para pembaca dan audiensi tentang definisi Otonomi Daerah. Sehingga para pembaca mengerti dan memahami secara mendalam mengenai apa itu pengertian Otonomi Daerah. Karena pada dasarnya otonomi daerah itu merupakan faktor penting dalam pembangunan baik secara lokal atau di dalam daerah itu sendiri maupun secara nasional atau di dalam Negara.

1.4       Manfaat
Diharapkan dengan adanya makalah ini dapat memberikan manfaat:
Memperdalam pengetahuan tentang Otonomi Daerah
  Masyarakat dapat mengaplikasikan ilmu-ilmu yang terkandung didalam makalah ini di kehidupan sosial

1.5       Metode
Metode yang kami gunakan dalam membuat makalah ini adalah pengumpulan data-data dari berbagai sumber terkait serta referensi-referensi yang ada sebagai dasar penyusunan makalah ini.






BAB II
PEMBAHASAN


1.     Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi daerah dapat diartikan sebagai kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Otonomi daerah dan desentralisasi pada dasarnya mempersoalkan pembagian tentang kewenangan kepada organ-organ penyelenggara Negara, sedangkan otonomi  menyangkut hak yang  mengikuti pembagian wewenang tersebut.  Desentralisasi seagaimana didefinisikan Perserikata Bangsa Bangsa adalah:
“Desentralisasi terkait dengan masalah pelimpahan wewenang dari pemerintahan pusat yang berada di ibu kota Negara baik melalui cara dekonsentrasi, misalnya pendelegasian, kepala pejabat di bawahnya maupun pendeglesian kepada pemerintah atau perwakilan daerah.”
Batasan ini hanya menjelaskan proses kewenangan yang diserahkan pusat pada daerah, tetapi belum menjelaskan isi dan keluasan kewenangan serta konsekuensi penyerahan kewenangan itu bagi badan badan otonomi daerah.
Alasan mengapa Indonesia membutuhkan desentralisasi adalah karena, kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini sangat terpusat di Jakarta  (Jakarta sentris). Sementara itu pembangunan di beberapa wilayah lain cendrung bahkan di jadikan objek bahan “perarahan” pemerintah pusat. Pembagian kekayaan yang scara tidak adil dan merata. Daerah-daerah yang memiliki semberdaya alam yang berlimpah tidak menerima perolehan dana yang patut dari pemerintah pusat. Kesenjangan social antar satu dan yang lain sangatlah mencolok
Pelaksanaan desentralisasi harus berlandaskan argumentasi yang kuat dan baik secara teoretis dan empiris. Kalangan teoretisi pemerintahan dan politik mengajukan sejumlah argument yang menjadi dasar pelaksanaan desentralisasi. Diantara argumentasi dalam memilih desentralisasi-otonomi daerah adalah:
1.      Untuk terciptanya efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
Pemerintah berfungsi mengelola berbagai dimensi kehidupan seperti bidang social, kesejahteraan masyarakat, ekonomi, keuangan , politik, integrasi social, pertahanann dan keamanan dalam negeri, dan lain-lain. Selain memiliki fungsi distributive akan hal-hal yang telah diungkapkan, pemerintah mampu mempunyai fungsi regulatf baik yang menyakut penyediaan barang dan jasa atau pun yang berhubungan kompetensi dalam rangka penyediaan tersebut. Pemerintah juga memiliki fungsi ekstrakif, yaitu memobilisasi sumber daya keuangan dalam rangka membiayai aktivitas penyelenggaraan Negara. Selain memberikan pelayanan dan  perlindungan terhadap masyarakat, menjaga keutuhan Negara-bangsa, dan mempertahankan diri dari kemungkinan  serangan dari Negara lain, merupakan tugas pemerintah, tidak lah mungkin hal itu dapat di lakukan dengan cara yang sentralistis, karena pemerintah Negara menjadi tidak efisien dan menjadi tidak efisien dan tidak akan mampu menjalankan tugas dengan baik.
2.      Sebagai sarana pendidikan politik
Pemerintah daerah merupakan pekancah pelatihan dengan pengembangan demokrasi dalam sebuah Negara. Filsuf Alexis de Tocqueville mencatat bahwa kota-kota kecil di daerah itu merupakan kawasan untuk kebebasan sebagai mana sekolah dasar untuk ilmu pengetahuan: di sanalah tempat kebebasan, disana pula tempat kebebasan, di sana juga tempat orang diajari sebagaimana kebebasan di gunakan dan bagaimana menikmati kebebasan tersebut.
Senada dengan unkapan tersebut, menurut John Stuart Mill, pemerintahan daerah akan menyediakan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi politik, baik dalam rangka memilih atau kemungkinan dipilih dalam suatu jabatan. politik mereka yang tidak memiliki peluang untuk terlibat dalam politik nasional dan memilihn pemimpin nasional  akan mempunyai peluang untuk ikut serta dalam local politik, baik dalam pemilihan umum local ataupun dalam rangka kebijakan public.
3.      Pemerintah daerah sebagai persiapan untuk karier politik lanjutan
Pemerintah daerah merupakan langkah persiapan untuk meniti karier lanjutan, terutama karier dibidang politik dan pemerintahan ditingkat nasional. Keberadaan institusi local, terutama pemerintah daerah (eksekutif dan legislative local), merupakan wahana yang tepat bagi penggodokan calon-calon pimpinan nasional, setelah mereka melalui karier politiknya. Melali mekanisme menggodokan di daerah di harapkan budaya politik paternalistis yang sarat dengan budaya feudal dapat dikurangi. Dimasa mendatang calon pemimpin nasional adalah mereka yang telah teruji loyalitas dan kepimpinannya bagi rakyat Indonesia, melalui lembaga-lembaga eksekutif maupun legislative di daerah.
Proses kaderisasi pemimpin mesional melalui jalur politik di daerah yang berlangsung secara akuntabel dan rasional dan pada akhirnya dapat memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi masyarakat luas untuk menduduki jabatan baik di pemerintahan maupun lembaga perwakilan. Tradisi politik yang bertumpu pada garis keturunan (genelogi) yang selama ini masih banyak di lakukan lamban laun akan berkurang.
4.      Stabilitas Politik
Menurut Sharpe, stabilitas politik nasional semestinya berawal dari stabilitas politik pada tingkat local. Dalm konteks Indonesia, terjadinya pergolakan daerah seperti PRRI dan PERMESTA di tahun 1957-1958, karena daerah melihat tentang kekuasaan pemerintah Jakarta yang sangat dominan. Hal serupa juga terjadi di beberapa Negara ASEAN ,seperti Filiphina dan Thailand . di kedua Negara tersebut minoritas muslim (masing masing di Mindanao dan pattani) berjuang untuk melepaskan diri dari ketidak adilan ekonomi yang di lakukan pemerintah pusat yang ada di Manila dan Bangkok. Ketidak adilan ekonomi ini telah berkaitan dan pada lahirnya gejolak desentrigasi. Di tingkat local, kasus-kasus tersebut merupakan contoh nyata bagaimana hubungan antar pemerintah daerah dengan ketidakstabilan politik nasional jika pemerintah pusat tidak menjalankan otonomi daerah yang tepat.
5.      Kesetaraan politik.
Melalui desentralisasi, pemerintah akan tercipta kesetaraan politik antara daerah dan pusat. Kesetaraan politi akibat kebijakan desentralisasi-otonomi Negara yang baik akan menarik minat banyak oang di daerah untuk berpartisipasi secara politik.
6.      Akuntabilitas publik
Desentralisasi otonomi daerah pada dasarnya adalah transfer prinsip-prinsip demokrasi dalam pengelolaan pemerintah maupun budaya politik. Melalui prinsip demokrasi penyelenggaraan pemerintah di daerah akan lebih akuntable dan professional karena dapat melibatkan  peran serta masyarakat luas, baik dalam hal penentuan pimpinan daerah maupun pelaksanaan program di daerah
               
2.      Visi Otonomi Daerah
Otonomi daerah sebagai kerangka penyelenggaraan pemerintah mempunyai visi yang dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup utama yang saling berhubungan yaitu : politik, social, ekonomi dan budaya.
                Mengingat otonomi daerah adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan demokrasi, karenanya visi otonomi daerah di bidang politik harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnnya kepala pemerintah daerah yang di pilih secara demokratis., memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintah yang responsive terhadap kepantingan masyarakat luas, dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban public.
                Visi otonomi daerah dibidang ekonomi mengandung makna bahwa otonomi daerah di suatu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional daerah,  dipihak lain mendorong terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan local untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Dalam rangka ini, otonomi daerah memungkinkan  lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perizina usaha, dan membangun infrastruktur yang menunjang ekonomi didaerah.
                Visi otonomi daerah di bidang social dan budaya mengandung pengertian bahwa otonomi daerah harus diarahkan pada pengelolaan, penciptaan, dan pemeliharaan intergrasi dan harmoni social. Visi otonomi daerah dibidang social da budaya adalah memelihara dan mengembangka nilai, tradisi, karya seni, karya cipta, bahasa, dan karya sastra local yang dipandang kondusif di kalangan masyarakat untuk merespon positif dunamika kehidupan di sekitarnya dan kehidupan global. Karenanya, aspek social budaya harus diletakan secara tepat dan terarah agar kehidupan social tetap terjaga secara utuh dan budaya local tetap eksis dan berkelajutan.

3.     Sejarah Otonomi Daerah di Indonesia
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah pasca proklamasi kemerdekaan adalah UU no. 1 Tahun 1945. Ditetapkannya undang-undang ini adalah hasil dari berbagai pertimbangan tentang sejarah pemerintahan di masa-masa kerajaan serta pada masa pemerintahan colonial. Undang-undang ini menciptaka aspek cita-cita kedaulatan rakyat melalui pengaturan dan pembentukan Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Di dalam undang-undang ini di tetapkan 3 jenis daerah otonom, yaitu keresidenan, kabupaten, dan kota. Periode berlakunya undang-undang ini sangat terbatas. Sehingga dalam kurun waktu 3 tahun belum ada peraturan pemerintah yang mengenai penyerahan desentralisasi kepada daerah. Undang-undang ini kemudian diganti dengan Undang-Undang no. 22 tahun 1948.
Undang-undang nomor 22 tahun 1948 berfokus pada pengaturan tenntang susunan pemerintah daerah yang demokratis. Di dalam undang-undang ini ditetap kan 2 jenis daerah otonom, yaitu otonom biasa dan otonom daerah istimewa, serta 3 tingkatan daerah otonom, yaitu provinsi, kebupaten/kota besar, dan desa/kota kecil. Mengacu pada ketentuan Undang-undang nomor 22 tahun 1948, penyerahan sebagian urusan pemerintahan kepada daerah telah mendapat perhatian pemerintah. Pemberian otonomi pada daerah berdasarkan undang-undang tentang pembentukan daerah, telah dirinci lebih lanjut pengaturannya melalui peraturan pemerintah tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan tertentu kepada daerah.
Perjalanan sejarah otonomi di Indonesia selalu di tandai dengan lahirnya suatu produk perundang-undangan yang menggantikan produk sebelumnya. Perubahan tersebut pada satu sisi menandai dinamika orientasai pembangunan daerah di Indonesia dari masa ke masa. Akan tetapi, di sisi lain hal ini dapat di pahamin sebagai sebagian dari “eksperimentasi politik” penguasa dalam menjalankan kekuasaan. Periode otonomi daerah pasca UU no. 22 tahin 1948 diisi dengan munculnya beberapa UU tentang pemerintah daerah, yaitu UU no. 1 tahun 1957 (sebagai pengaturan tunggal peryama yang berlaku seragam untuk seluruh Indonesia), UU no. 18 tahun 1965 (yang menganut system otonomi yang seluas-luasnya), dan UU No. 5 Tahun 1974.
UU yang tersebut terakhir menganut pokok-pokok penyelenggaraaan pemerintah yang menjadi tugas pemerintah pusat di daerah. Prinsip yang dipakai dalam pemberian otonomi kepada daerah bukan lagi “otonomi riil dan seluas-luasnya”, tetapi “otonomi nyata yang bertanggung jawab”. Alasannya, pandangan pemikiran yang dapat membahayakan NKRI dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi daerah sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan dalam GBHN yang berorientasi pada pembangunan dalam arti luas. Undang-undang ini berumur paling panjang, yaitu 25 tahun, dan baru diganti dengan undang-undang nomor 22 tahun 1999 dan Undang-undang no 25 tahun 1999 setelah tuntutan reformasi bergulir.
Kehadiran undang-undang nomor 22 tahun 1999 tidak terlepas dari perkembangan situasi yang terjadi pada madai itu lengsernya rezim otoriter Orde Baru dan munculnyakehendak masyarakat untuk melakukan reformasi di semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Berdasarkan kehendak reformasi itu, Sidang istimewa MPR tahun 1998 yang lalu menciptakan Ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan  Otonomi Daerah; pengaturan, pembagia, dan pemanfaatan sumber daya nasional, yang berkeadilan serta perkembangan keuangan pusan dan daerah dalam rangka NKRI. Momentum otonomi daerah di Indonesia semakin mendapatkan tempatnya setelah MPR RI melakukan amademen pada pasal 18 UUD 1945 dalam perubahan kedua yang secara tegas dan eksplisit menyebutka bahwa Negara Indonesia memakai prinsip otonomi dan desentrallisasi kekuasaan politik.
Sejalan dengan tuntutan reformas, tiga tahun setelah implementasi UU no. 22 tahun 1999, dilakukan peninjauan dan revisi terhadap undang-undang yang berakhir pada lahirnya UU no. 32 tahun 2004 yang juga mengatur tentang pemerintahan daerah. Menurut Sadu Wasistiono, hal hal penting yang ada pada UU no. 32 tahun 2004 adalah dominasi kembali eksekutif yang dominasi pengaturan tentang pemilihan kepala daerah yang bobotnya hampir 25% dari keseluruhan isi UU tersebut.

4.     Prinsip-prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah.                                                      
                Prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah yang dijadika pedoman dalam penyelenggaraan pemerintah daerah adalah:
1.      Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan mementingkan aspek demokrasi, keadila, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.
2.      Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggungajawab.
3.      Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota, sedangkan pada daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.
4.      Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi Negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antar pusat dan daerah serta antar daerah.
5.      Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya daerah kabupaten dan kota tidak ada lagi  wilayah administrasi. Demikian pula kawasan-kawasan khusus yang di bina oleh pemerintah atau pihak lain, seperti badan otoritas, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industral, kawasan partambangan, kawasan perkebunan, kawasan kehutanan,  kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata dan semacamnya berlaku ketentuan  peraturan daerah otonom.
6.       Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi si badan legislative daerah, baik fungsi legislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah.
7.      Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakan pada daerah provinsi dalam kedudukan wilayah sebagai administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintah tertentu yang dilimpahkan kpada gubernur sebagai wakil pemerintah.
8.       Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah kedaerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung-jawabkan kepada yang menugaskan.

5.     Pembagian Kekuasaan dalam Kerangka Otonomi Daerah.
                Pembagian kekuasaan antar pusat da daerah dilakukan berdasarkan prinsip Negara kesatuan tetapi dengan semengat federalisme. Jenis kekuasaan yang ditangani yaitu, hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter, dan agama, serta berbagai jenis urusan yang memang lebih efisien ditangani secara sentral oleh pemerintah pusat, seperti kebijakan mekroekonomi, standarisasi nasional, administrasi pemerintahan, badan usaha milik Negara (BUMN), pengembangan sumber daya manusia.
            Selain itu, otonomi daerah yang diserahkan itu baersifat luas, nyata, dan bertanggunga jawab. Disebut luas karena kewenangan sisa justru berada pada pemerintah pusat (seperti pada Negara federal); disebut nyata karena kewenangan yang diselenggarakan itu menyangkut yang di perlukan, tumbu dan hidup, dan berkembang didaerah; dan disebut bertanggung jawab karena kewenangan yang diserahkan harus diselenggarakan demi pencapaian tujuan ekonomi otonomi daerah, yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan, serta pemeliharan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dan antar daerah.  
            Selain sebagai daerah otonom, provinsi juga merupakan daerah administrative, maka kewenangan yang ditangani provinsi/gubernur aka mencakup kewenangan dalam rangka desentralisali dan  dekonsentrasi. Kewenagan yang diserahkan kepada daerah otonom provinsi dalam rangka desentralisasi mencakup.
a.      Kewenagan yang bersifat lintas-kabupaten dankota, seperti kewenangan dalam bidang pekerjaan umum, perhubungn, kehutanan, dan perkebunan.
b.      Kewenagan pemerintah lainnya, yaitu penecanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro, pelatihan bidang alokasi sumber daya manusia potensial, penelitian yan mencakup wlayah provinsi, pengelolaan pelabuhan regional,pengendalian lingkungan hidup, promosi dagang dan budaya/pariwisata, penanganan penyakit menular, dan perencanaan tata ruang provinsi.
c.       Kewenangan kelauta, yang meliputi eksplorasi, eksplotasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut, pengaturan kepentingan administrative, pengaturan tata ruang, penegak hokum, dan bantuan  keamanan dan kedaulatan Negara.
d.      Kewenagan yang tidak atau belum dapat ditangani daerah kabpaten dan daerah kota diserahkan kepada provinsi denan pernyataan dari daerah otonom kabupaten atau kota tersebut.
            Dalam rangka Negara kesatuan, pemerintah pusat maih memiliki kewenangan melakukan pengawasan tehadap daerah otonom. Tetapi, pengawasan yang dilakukan pemerintah pusat terhadap daerah otonom diimbangi dengan kewenangan daerah otonom yang leh besar, atau sebaliknya, sehingga terjadi semacam keseimbangan kekuasaan. Keseimbangan yang dimaksud adalah, pengawasan ini tidak lagi dilakukan secara structural, yaitu bpati dan gubernur bertindak sebagai wakil pemerintah pusat sekaligus kepala daerah tonom, dan tidak lagi secara  preventif perundang-undangan, yaitu setiap peraturan daerah memerlukan persetujuan pusat untuk dapat berlaku.

6.     Pemilihan, Penetapan, dan Kewenangan Kepala Daerah.
                Menurut  UU no.22 tahun 1999, bupati dan walikota sepenuhnya menjadi kepala daerah otonom yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada DPRD dan dapat diberhentikan oleh DPRD pada masa jabatannya tetapi penetapa ataupunpemberhentian kepala daerah secara administrative masih diberikan kepada presiden. Sedangkan dalam UU nomor 32 tahun 2004, kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat melalui pilkada langsung. Gubernur pada saat yang sama masih merangkap sebagai wakil pusat dan kepala daerah otonom. Pengawasan pemerintah pusat terhadap daerah otonom menurut UU baru ini dilakukan berdasarkan supremasi hukum. Artinya, setiap perauran daerah yang dibuat oleh DPRD dan Kepala Daerah langsung dapat berlaku tanpa memerlukan persetujuan pemerintah pusat. Akan tetapi, pemerintah pusat setiap saat dapat menunda atau membatalka bila perda itu dinilai bertentangan dengan konstitusi, UU, dan kepentingan umum. Sebaliknya, bila daerah otonom (DPRD dan Kepala Daerah) menilai pemerintah pusat menunda atau membatalkan perda yang bertentangan dengan konstitusi, UU, atau kepentingan umum, maka daerah otonom dapat mengajukan gugatan/keberatan kepada Mahkamah Agung untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Pemerintah pusat dan daerah otonom haru patuh kepada keputusan MA.
            Terkait dengan pembagian kewenangan antara pemerintah dengan pemerintah daerah terdapat sebelas jenis kewenangan wajib yang diserahkan kepada daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota, yaitu :
1.      Pertanahan
2.      Pertanian
3.      Pendidikan dan kebudayaan
4.      Tenaga Kerja
5.      Kesehatan
6.      Lingkungan Hidup
7.      Pekerjaan Umum
8.      Perhubungan
9.      Perdagangan dan industrymodal
10.  Penanaman modal
11.  Koperasi
            Selain itu, kabupaten dan kota mempunyai batas laut juga diberi kewenangan kelautan seluas 1/3 dan luas kewenangan provinsi yang 12 mil. Jenis kewenangan lain yang dapat diselenggarakan oleh daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota ialah kewenangan pilihan, yaitu jenis kewenangan yang tidak termasuk yang ditangani pusat provinsi. Penjabaran kesebelas kewenangan itu, dalam arti lingkup kegiatan dan tingkat kewenangan yang akan diserahkan kepada daerah otonom kabupaten dan kota, masih haru menunggu penyesuaian sejumlah UU yang sejalan dengan paradigm dan jiwa UU no. 22 tahun 1999. UU no.32 tahun 2004.
            Penyerahan kesebelah jenis kewenangan ini kepada daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota dilandasi oleh sejumlah pertimbangan sebagai berikut:
            Pertama, makin dekat produsen dan distributor pelayanan publik dengan warga masyarakat yang dilayani, semakin tepat sasaran, merata, berkualitas dan terjangkau. Hal ini disebabkan karena DPRD dan Pemda sebagian produsen dan distributor pelayanan public dinilai lebih memahami aspirasi warga daerah, lebih mengetahui kemampuan warga daerah, lebih mengetahui potensi dan kendala berlingkup local daripada provinsi dan pusat.
            Kedua, penyerahan 11 jenis kewenangan itu kepada daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota akan membuka peluang dan kesempatan bagi actor-aktor politik dan sumber daya manusia yang berkualitas di daerah untuk mengajukan prakarsa, berkreatifitas, dan melakukan inovasi karena kewenangan merencanakan, membahas, memutuskan, melaksanakan, mengevaluasi 11 jenis kewenagan. Hal ini berarti unsur-unsur budaya local berupa pengtahuan lokal (local knowledge), keahlian local (local genius), kearifan local (local wisdom), akan dapat didayagunakan secara maksimal.
            Ketiga, karena distribusi sumber daya manusia yang berkualitas tidak merata, dan kebanyakan berada di Jakarta dan kota besar lainnya, maka penyerahan 11 jenis kewenangan ini juga dimaksudkan dapat menarik sumber daya manusia yang berkualitas di kota-kota besar untuk berkiprah didaerah otonom, ynang kabupaten dan kota.
            Keempat, pengangguran dan kemiskinan sudah menjadi masalah nasional yang tidak saja hanya ditanggung kepada pemerintah pusat semata. Akan tatapi, dengan adanya pelimpahan kewenangan tersebut, diharapkan menjadi diseminasi kepedulian, dan tanggung jawabuntuk meminimalisir atau bahkan menghilangkan masalah tersebut sebagaimana dimaksudkan dalam tujuan awal dari otonomi daerah.

7.     Kesalahpahaman Terhadap Otonomi Daerah
                Otonomi daerah diharapkan dapat menjadi salha satu pilihan kebijakan nasional yang dapat mencegah kemungkinan terjadinya diintegrasi nasional. Otonomi daerah merupakan sarana yang secara politik ditempuh dalam rangka memelihara keutuhan negara bangsa. Otonomi daerah dilakukan dalam rangka memperkuat ikatan semangat kebangsaan serta kesatuan dan kesatuan di antara segenap warga bangsa.
            Dengan undang-undang otda, daerah bertanggung jawab memelihara NKRI, karena tuntutan tanggung jawab tersebut, daerah tidak diberi peluang untuk mengambil inisiatif kebijakan yang sekira akan merugikan kepentingan pemerinta nasional di Jakarta.
            Kebijakan otonomi daerah melalui undang-undang no.22  tahun 1999 jo. Undang undang no.32 tahun 2004 memberikan otonomi yang sangat luas kepada daerah, khususnya kabupaten dan kota. Hal itu ditempuh dalam rangka mengembalikan harkat dan martabat masyarakat daerah; memberikan peluang pendidikan politik dalam rangka peningkata kualitas demokrasi di daerah, meningkatka efisiensi pelayanan public di daerah, meningkatkan percepatan, pembangunan daerah, dan pada akhirnya diharapkan mampu menciptakan cara berpemerintahan yang baik (good governance).
            Namun demikian, dalam praktiknya kebijakan otda telah banyak menimbulkan kesalah pahaman. Beberapa salah paham yang muncul dari berbagai kelompok masyarakat terkait dengan kebijakan dan implementasi otonomi daerah sebagai berikut:
            Pertama, otonomi dikaitkan semata-mata dengan uang. Sudah sangat lama berkembang dalam masyarakat suatu pemahaman yang keliru tentang otonomi daerah, yaitu untuk berotonomi daerah harus mencukupi sendir kebutuhannya, terutama dalam bidang keuangan. Hal itu muncul karena ada ungkapan yang dimunculkan oleh J. Wayong, pada tahun 1950-an, bahwa “otonomi identik dengan outmoney”. Ungkapan seperti ini sama sekali tidak dapat di pertanggung jawabkan. Tidak ada yang menafikan bahwa uang memang merupakan sesuatu ang mutlak, namun uang bukan satu-satunya alat dalam menggerakan roda pemerintah. Kata kunci dari otonomi adalah “kewenangan”. Dengan kewenangan uang akan bisa dicari, dan dengan itu pula pemerintah, termasuk pemerintah daerah, harus mampu menggunakan uang dengan bijaksana, tepat guna, dan berorientasi kepada kepentingan masyarakat.
            Kedua, daerah belum siap dan belum mampu. Munculnya pandangan ini merupakan pandangan yang keliru. Karena sebelum otonomi daerah berdasarkan undang-undang no. 22 tahun 1999 jo. Undang undang no.32 tahun 2004 diterapkan, pemberian tugas kepada pemerintah daerah belum diikuti dengan pelimpahan kewenangan dalam mencari uang dan subsidi dari pemerintah pusat. Begitu juga,tidak ada alas an untuk tidak siap dan tidak mampu karena pemerintah daerah sudah terlibat dalam penyelenggaraan pemerintah dalam waktu yang sudah sangat lama dan berpengalaman dalam administrasi pemerintahan.
            Ketiga, dengan otonomi daerah maka pusat akan melepaskan tanggung jawabnya untuk membantu dan membina daerah. Pendapat ini sama sekali tidak benar. Bersamaan degan kebijakan otonomi daerah, pemerintah pusat tetap harus dan bertanggunga jawab untuk menberi dukungan dan bantuan kepada daerah, baik berupa bimbingan teknis penyelenggaraan pemerintah dalam kepada personel yang ada di daerah , ataupun berupa dukungan keuangan. Hal itu sama sekali tidak mengurangi makna otonomi dalam kerangka negara kesatuan. Hal itu sama sekali tidak mengurangi makna otonomi dalam kerangka negara kesatuan. Otonomi daerah dalam undang-undang no.22 tahun 1999 jo. Undang-undang no.32 tahun 2004 menganut falsafah yang sudah sangat umum dikenal di berbagai negara, yaitu “No mandate without funding” (tidak ada mandate tanpa dukungan dana). Artinya, setiap pemberian kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah harus disertai dengan dana yang jelas dan cukup apakah itu berbentuk Dana Alokasi Umum (DAU), ataupun Dana Alokasi Khusus (DAU), serta bantuan keuangan yang lainnya, misalnya kalau terjadi bencana alam yang sangat mengangu roda perekonomian negara.
            Keempat, dengan otonomi daerah maka daerah dapat melakukan apa saja. Hakikat otonomi memberikan kewenangan keadaan pemerintah daerah untuk kreatif dan inovatif dalam rangka memperkuat Negara Kesatuan NKRI dengan berlandaskan norma kepatutan dan kewajaran dalam sebuah tata kehidupan bernegara. Daerah dapat menempuh segala bentuk kebijakan apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku secara nasional. Disamping itu, kepentingan masyarakat merupakan landasan yang paling utama dalam mengambil kebijakan. Bukan sebaliknya, pemerintah daerah mengambil langkah kebijakan dengan mengabaikan berbagai aturan dan norma yang berlaku.
            Kelima, otonomi daerah akan menciptakan raja-raja kecil di daerah dan memindahkan korupsi ke daerah. Pendapa separti ini dapat di benarkan kalau para penyelengara pemerintah daerah, masyarakat, dan dunia usaha di daerah menempakan diri dalam kerangka system politik masa lalu (Orde Baru) yang sarat korupsi, kolusi, nepotisme, dan segala bentuk penyalah gunaan  kekuasaan yang lainnya. Untuk menghindari raktik kekuasaan tersebut, pilar-pilar penegakkan demokrasi dan masyarakat madani (civil society) seperti partai politik, media masa, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Ombudsman, Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan, dan LSM yand mengawasi praktik korupsi, lembaga legislative, dan peradilan dapat memainkan perannya sebagai pengawas jalannya pemerintahan daerah secara optimal.

8.     Otonomi Daerah dan Pembangunan Daerah
Otonomi daerah sebagai komitmen dan kebijakan politik nasional merupakan langkah strategis yang diharapkan akan mempercepat pertumbuhan dan pembangunan daerah. Kebijakan pembangunan yang sentralistis pada masa lalu dampaknya sudah diketahui, yaitu adanya ketimpangan antar daerah. Pembangunan daerh tidak akan terjadi dengan  begitu saja, butuh proses- proses pelaksanaan pemerintah yang akuntabel yang dilakukan oleh para penyelengaraan pemerintah di daerah, yaitu pihak legislative (DPRD Provinsi, Kabupaten, dan Kota) dan eksekutif di daerah (gubernur, bupati, dan walikota). Terdapat faktor-faktor prakondisi yang diharapkan dari pemerintahan daerah, antara lain :
1.      Fasilitas
Fungsi pemerintah daerah yang sangat esensial adalah memfasilitasi segala bentuk kegiatanbdaerah, terutama dalam bidang perekonomian. Hali itu merupakan langkah tepat bagaimana menciptakan lapangan kerja secara maksimal bagi warga masyarakat, sehinga penganguran juga dapat dikurangi.
2.      Pemerintah daerah harus kreatif
Kreatifitas tersebut menyangkut bagaimana mecari sumber dana (bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU) atau dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan mengalokasikannya secara tepat, adil, dan proposional. Kreatifitas juga menyangkut kapasitas untuk menciptakan keunggulan komparatif bagi daerahnya, sehingga kalangan pemilik modal akan tertarik menanamkan modal di daerah tersebut. Kreatifitas juga menyangkut kemampuan untuk menarik Dana Alokasi Khusus dari pemerintah pusat melalui penyiapan untuk menarik Dana Alokasi Khusus dari pemerintah pusat melalui penyiapan program-program sosial, budaya, dan ekonomi yang berorientasi kesejahteraan masyarakat daerah.
3.      Politik kokal yang stabil
Masyarakat dan pemerintah di daerah harus menciptakan suasana politik local yang kondusif melalui transparansi dalam pembuatan kebijakan public dan akuntabel dalam pelaksanaannya.
4.      Pemerintah daerah harus menjamin kesinambungan berusaha.
Ada kecendrungan yang menghawatirkan berbagai pihak bahwa pemerintah daerah sering kali merusak tatanan yang sudah ada. Apa yang sudah disepkati  sebelmnya, baik melalui kontrak dama negeri atau dengan phak asing, seringkali “diancam” untuk ditinjau kembali, bahkan hendak dinaifkan oleh pemerintah daerah dengan alas an otonomi daerah uang dipahami kebebasan pemerintah daerah bertindak. Kalangan pengusaha asing dan domesik sering kali merasa terganggu dengan sikap kalangan politis dan birokasi daerah yang mencoba mengubah apa yang sudah disepakati aebelumnya. Hal ini berdampak dunia usaha merasa tidak terlindungi dalam kesinambungan usahanya.
5.      Pemerintah Daerah harus komunikatif dengan LSM/NGO, terutama dalam bidang perburuhan dan lingkungan hidup.
Pemerintah daerah dituntut untuk memahami semua aspirasi yang berkembang dikalangan pemburuhan, baik yang menyangkut upah minimum dan jaminan lainnya, hak-hak buruh pada umumnya, perlindungan buruh wanita, ataupun meyangkut keselamatan kerja dan kesehatan kerja. Dengan demikian, pemerintah daerah hendaknya menjadi jembatan antara kepantingan dunia usaha dengan aspirasi kalangan pekerja/buruh. Pemerintah daerah juga harus lebih sensitive dengan masalah atau isu-isu lingkungan hidup seperti oenggundulan hutan, pencemaran air dan udara, kepunahan  habitat hewan dan tumbuhan tertentu, pemanasan global, dan lain lain.


9.     Otonomi Daerah dan Pilkada Langsung
Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang lazim disebut dengan pilkada baik pemilihan gubernur dan wakil gubernur maupun pemilihan bupati/walikota dan wakil walikota merupakan perwujudan pengembalian hak-hak rakyat dalam memilih kesempatan dan kedaulatan untuk menentukan pemimpin daerah secara langsung, bebas, rahasia, dan otonom, sebagaimana rakyat memilih presiden dan wakil presiden (eksekutif), dn anggota DPD, DPRdan DPRD (legislative). Pilkada langsung merupakan instrument politik yang sangat strategis untuk mendapatkan legitimasi politik rakyat dalam kerangka kepemimpinan kepala daerah. Legitimasi adalah komitmen untuk mewujudkan nilai-nilai da norma-norma yang berdimensi hukum, moral, dan social. Jelasnya, sorang kepala daerah yang memiliki legitimasi adalah kepala daerah yang terpilih dengan prosedur dan tata cara yang sesuai dengan ketentang perundangan-undangan srta melalui proses kampanye dan pemlihan yang demokratis dan sesuai dengan norma-norma social dan etika politik dan didukung oleh suara terbanyak:
            Penyelenggaraan pilkada harus memenuhi beberapa kriteria:
1.      Langsung
Rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara lansung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.
2.      Umum
Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan  yang belaku menyeluruh bagi semua warga negara,  tanpa diskriminas berdasarkan suku, agama, ras, golongan,jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan,dan status social.
3.      Bebas
Setiap warga negara berhak memilih bebas menentukan pilihan tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Dalam melaksanakan haknya, setiap warna negara dijamin keamanannya sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentinganya.
4.      Rahasia
Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin dan pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak manapun da jalan apapun. Pemilih memberikan suaaranya pada surat suara dengan tidak diketahui oleh siapapun.
5.      Jujur
Dalam penyelenggaraan pilkada, setiap penyelenggaraan pilkada,  aparat pemerintah, calon/peserta pilkada, pengawas pilkada, pemantau pilkada, pemilih serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
6.      Adil
Dalam penyelenggaraan pilkada, setiap pemilih dan calon/peseta pilkada mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun.

Dari beberapa penelitian ditemukan bahwa hubungan antara prakondisi demokrasi dan efektivitas pemilihan langsung yang terbentuk tidak linier melainkan hubungan timbale balik. Artinya, jika prakondisi demikrasinya buruk, maka pemilihan langsng kepala daerah akan kurang efektif dalam penigkatan demokrasi. Sebaliknya, jika prakondisi demokrasinya baik, maka semakin signifikan pilkada langsung bagi peningkatan demokrasi.
Namun demikian, pilkada langsung tidak lepas dari sejumlah kelemahan: dana yang dibutuhkan; membuka kemungkinan konflik elite dan massa; aktivitas rakyat terganggu. Namun demikina, pilkada langsung memiliki kelebihan-kelebihan antara lain: kepala daerah terpilih akan terikat pada konsensi partai-partai atau faksi-faksi politik yang telah mencalonkannya; sistem pilkada langsung lebih akuntabel karena adanya akuntabilitas publik; check and balances antara lembaga legislative dan eksekutif dapat lebih berjalan seimbang; Kriteria calon kepala daerah dapat dinilai secara langsung oleh rakyat yang akan memberikan suaranya; pilkada langsung sebagai wadah pendidikan politik rakyat; kancah pelatihan (training ground) dan pengembangan demokrasi; pilkada langsung sebagai persiapan untuk karier politik lanjutan; membangun stabiltas politik dan mencegah separatism; kesetaraaan politik; dan mancegah kekuasaan di pusat.


BAB III
Kesimpulan

1.      Desentralisali sebagai transfer tanggung jawab dalam perencanaan, managemen, dan alokasi sumber-sumber dari pemerintah pusat dan agen-agennya kepada unit kementrian pemerintah pusat, unit yang ada di bawah level pemerintah, otoritas atau korporasi public semi-otonomi, otoritas regional atau fungsional dalam wilayah yang luas, atau lembaga privat nonpemerintah dan pemerintah dan organisasi nirlaba.
2.      Otonomi daerah sebagai kerangka penyelenggaraan pemerintah mempunyai visi dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup utama yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya: politik, ekonomi, social, dan budaya. Dibidang politik dipahami sebagai proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang responsive terhadap kepentingan masyarakat luas, dan memelhara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asa pertanggungjawaban public. Selanjutnya di bidang ekonomi mengandung makna bahwa otonomi daerah menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional daerah, dipihak lain mendorong terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan local kedaerahan untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Sedangkan dibidang social dan budaya memelihara dan mengembangkan nilai, tradisi, karya seni, karya cipta, bahasa dan karya sastra local yang dipandang kondusif dan mendorong masyarakat untuk merespon positif dinamika kehidupan di sekitarnya dan kehidupan global.
3.      Otonomi daerah yang diterangkan di Indonesia bersifat lua, nyata, dan bertanggung jawab.
4.      Otonomi daerah merupakan langkah strategis yang diharapkan akan mempercepat pertumbuhan dan pembangunana daerah, disamping menciptakan keseimbangan pembangunan anardaerah di Indonesia.
5.      Otonomi daerah merupakan wadah pendidikan politik yang tercermin dalam pemilihan kepala daerah langsung. Hal itu sangat bermanfaan untuk kelanjutan karier politik tingkat nasional. Selain tiu pilkada langsung merupakan mekanisme demokratis dalam rangka rekrutment pemimpin di daerah, dimana rakyat secara meyeluruh memiliki hak dan kebebasan untuk memilih calon-calon bersaing dalam suatu medan permainan dengan aturan main yang sama.


BAB IV
Daftar Pustaka


Abdullah, Rozali, 2001. Pelaksanaan Otonomi Luas, Jakarta: Rajawali
Koswara, E, 2001. Otonomi Daerah untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat, Pembanguan, Jakarta: Yayasan Fariba.
Masykur, Nur Rif’ah, 2001. Peluang dan Tantangan Otonomi Daerah, Jakarta: PT Permata Artistika Kreasi.
Muluk, M. R. Khairul, 2005. Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, Malang: Bayu Media.
Nadir, Ahmad, 2005. Pilkada Langsung dan Masa Depan Demokrasi, Malang: Aveose.
Pramusinto, Agus, 2004. “Otonomi Daerah dan Pemilihan Kepala Daerah dalam Mencermati Hasil Pemilu 2004”, Jurnal Analis CSIS Vol. 33, No. 22. Juni, Jakarta.
Surbakti, Ramlan, 2001. Otonomi Daerah Seluas-luasnya dan Faktor Pendukungnya, Jakarta.
Widjaja, A. W., 2001. Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II, Jakarta: Rajawali.

Tidak ada komentar: